Investasi Dalam Persediaan Barang ( Inventory)
INVESTASI DALAM PERSEDIAAN BARANG
(INVENTORY)
A.
Pengertian,
Jenis-jenis dan Perputaran Persediaan (Inventory Turnover)
Inventory atau persediaan barang sebagai elemn utama dari modal
kerja merupakan aktiva yang selalu dalam keadaan berputar dimana secara terus
menerus mengalami perubahan. Masalah investasi dalam inventory merupakan
masalah pembelanjaan aktif, seperti halnya investasi dalam aktiva-aktiva
lainnya. Masalah penentuan besarnya investasi atau alokasi modal dalam
inventory mempunyai efek yang langsung terhadap keuntungan perusahaan.
Kesalahan dalam penetapan besarnya investasi dalam inventory akan menekan
keuntungan perusahaan.
Adanya investasi dalam inventory yang terlalu besar dibandingkan
dengan kebutuhan akan memperbesar beban bunga, memperbesar biaya penyimpanan
dan pemeliharaan di gudang, memperbesar kemungkinan kerugian karena kerusakan
turunnya kualitas, keusangan, sehingga semuanya ini akan memperkecil keuntungan
perusahaan.
Demikian pula sebaliknya, adanya investasu yang terlalu kecil dalam
inventory akan mempunyai efek yang menekan keuntungan juga, karena kekurangan
material, perusahaan tidak dapat bekerja dengan luas produksi yang optimal.
Oleh karena perusahaan tidak bekerja dengan full capacity, berarti bahwa
“capital assets” dan “direct labor” tidak hanya didayagunakan dengan
sepenuhnya, sehingga hal ini akan mempertinggi biaya produksi rata-ratanya,
yang pada akhirnya akan menekan keuntungan yang diperoleh.
Dalam perusahaan produksi (pabrik) pada
umumnya diadakan penggolongan dalam 3 golongan inventory utama yaitu :
1)
Persediaan bahan
mentah (raw material inventory)
2)
Persediaan barang
dalam proses/barang setengah jadi (work in process/goods in process inventory)
3) Persediaan
barang jadi (finished goods inventory)
B.
Persediaan
Bahan Mentah (Raw Material Inventory) dan Persediaan Barang Jadi (Finished
Goods Inventory)
Untuk melangsungkan usahanya dengan lancer maka kebanyakan
perusahaan merasakan perlunya mempunyai persediaan bahan mentah. Besar kecilnya
persediaan bahan menah yang dimiliki oleh perusahaan ditentukan oleh berbagai
factor, antara lain :
1. Volume
yang dibutuhkan untuk melindungi jalannya perusahaan terhadap gangguan
kehabisan persediaan yang akan menghambat atau mengganggu jalannya proses
produksi
2. Volume
produksi yang direncanakan di mana volume produksi yang direncanakan itu
sendiri sangat tergantung kepada volume sales yang direncanakan
3. Besarnya
pembelian bahan mentah setiap kali pembelian untuk mendapatkan biaya pembelian
yang minimal
4. Estimasi
tentang fluktuasi harga bahan mentah yang bersangkutan di waktu-waktu yang akan
dating
5. Peraturan-peraturan
pemerintah yang menyangkut persediaan material
6. Harga
pembelian bahan mentah
7.
Biaya penyimpanan
dan risiko penyimpanan di gudang
8.
Tingkat kecepatan
material menjadinya rusak atau turun kualitasnya
Dalam pada itu banyak perusahaan merasakan
perlunya untuk mempunyai ”persediaan minimal” dari bahan mentah yang harus
dipertahankan untuk menjamin koninuitas usahanya dan persediaan tersebut ialah
apa yang disebut persediaan besi/persediaan
inti/persediaan minimal bahan mentah (safety stock). Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi besar-kecilnya safety stock suatu perusahaan adalah sebagai
berikut :
1)
Risiko
Kehabisan Persediaan
Besar kecilnya risiko kehabisan persediaan tergantung kepada :
a.
Kehabisan para
leveransir menyerahkan barangnya kepada kita, apakah mereka bisa menyerahkan
barangnya sesuai dengaan skedul yang telah kita tentukan atau tidak. Apabila
mereka biasa menyerahkan barangnya sesuai dengan skedul yang telah ditentukan
sebelumnya, berarti risiko kehabisan persediaan adalah kecil, yang ini berarti
bahwa kita tidak perlu mempunyai safety stock yang besar. Sebaliknya apabila
leveransir sering tidak menetapi janjinya, berarti risiko kehabisan persediaan
adalah besar, maka dirasakan perlunya untuk mempunyai safety stock yang besar.
b.
Besar kecilnya
jumlah bahan mentah yang dibeli setiap saat. Kalah jumlah bahan mentah yang
dibeli setiap saat besar berarti bahwa persediaan rata-rata di atas safety
stock selama suatu priode tertentu adalah besar, maka risiko kehabisan
persediaan adalah kecil, sehingga kita tidak perlu mempertahankan safety stock
yang besar.
c.
Dapat diduga atau
tidaknya dengan tepat kebutuhan bahan mentah, untuk produksi. Apabila untuk
menghasilkan barang jadi tertentu dapat ditentukan dengan mudah besarnya
kebutuhan bahan mentahnya dengan tepat. Maka risiko kehabisan persediaan adalah
kecil. Tetapi apabila besarnya bahan mentah tidak mudah ditetapkan atau selalu
berubah-ubah untuk menghasilkan sejumlah tertentu barang jadi (bahan mentah
yang tidak dengan standar), maka risiko kehabisan persediaan di sini adalah
besar, sehingga perlulah kita mempunyai safety stock yang besar.
2)
Hubungan
antara biaya penyimpanan di gudang di satu pihak dengan biaya-biaya ekstra yang
harus dikeluarkan sebagai akibat dari kehabisan persediaan di lain pihak
Yang merupakan biaya ekstra yang harus
dikeluarkan apabila kehabisan persediaan antara laina dalah pesanan pembelian
darurat, biaya ekstra yang diperlukan kita, kemungkinan kerugian karena adanya
stagnasi produksi dan lain-lain.
Apabila ternyata biaya-biaya ekstra yang
harus dikeluarkan karena kehabisan persediaan lebih mahal daripada biaya
penyimpanannya, maka perlu adanya safety stock yang sebaik-baiknya ialah pada
tingkat di mana tambahan biaya penyimpanan adalah sama besarnya dengan biaya
ekstra karena kehabisan persediaan.
Perusahaan di samping mempertahankan
persediaan minimal bahan mentah, bagi perusahaan tertentu juga perlu
mempertahankan adanya persediaan minimal barang jadi untuk menghadapi
pesanan-pesanan ekstra di atas pesanan normal. Besarnya persediaan minimal atau
safety stock barang jadi ini tidak sama esensinya bagi setiap perusahaan.
Seperti halnya pada uraian tentang persediaan minimal bahan mentah maka disini
pun kita harus memperhatikan berbagai faktor yang mempengaruhi besar kecilnya
persediaan minimal barang jadi yang harus dipertahankan oleh suatu perusahaan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya persediaan minimal barang
jadi terutama adalah sebagai berikut :
1. Sifat penyesuaian skedul produksi dengan pesanan ekstra Adakalanya suatu perusahaan sering
mendapatkan pesanan ekstra di atas volume pesanan normal. Selama perusahaan
tersebut dapat dengan mudah menyesuaikan skedul produksinya dengan
pesanan-pesanan eksra tersebut tanpa mengakibatkan adanya tambahan biaya
ekstra, maka perusahaan ini tidak begitu memerlukan adanya persediaan yang
besar. Sebaliknya apabila perusahaan tersebut tidak dapat segera menyesuaikan
skedul produksinya dengan pesanan ekstra. Maka dirasakan perlu baginya untuk
mempertahankan persediaan barang jadi yang relatif besar dibandingkan dengan
perusahaan lain yang dapat dengan mudah menyesuikan skedul produksinya.
2. Sifat Persaingan Industri
3. Apabila suatu perusahaan termasuk dalam industri dimana penyerahan pesanan
yang dapat merupakan bentuk persaingan umumnya, maka bagi jenis perusahaan ini
perlu mempertahankan adanya persediaan barang jadi yang relatif lebih besar
dalam hubungannya dengan salesnya dibandingkan dengan perusahaan lain dimana
bentuk persaingan utamanya terletak pada harga atau kualitas.
4.
Hubungan antara
biaya penyimpanan di gudan(Carrying Cost) dengan biaya karena kehabisan
persediaan (Stockout Cost)
Biaya karena kehabisan persediaan atau
stockout cost mungkin dalam bentuknya biaya ekstra produksi. Kehilangan
kesempatan mendapatkan keuntungan karena tidak dapat memenuhi pesanan. Apabila
inventory carrying cost_nya lebih kecil daripada stockout costnya perusahaan
dapat mempertahankan persediaan barang jadi yang lebih besar. Jumlah invenstasi
dalam persediaan minimal barang jadi yang sebaiknya ialah pada tingkat dimana
tambahan carrying cost sama besar dengan tambahan stockout cost.
C. Hubungan skedul
aliran kas dengan skedul penerimaan bahan mentah dan pengiriman barang jadi.
Bagaimana aliran kas dengan kedatangan
bahan mentah dan pengiriman barang jadi. Apabila pembelian bahan mentah
dilakukan dengan tunai maka saat masuknya bahan mentah secara fisik ke dalam
perusahaan adalah bersamaan dengan saat aliran kas keluar. Demikian pula
apabila penjualan barang jadi dilakukan dengan tunai maka saat keluarnya barang
jadi dari gudang adalah bersamaan dengan saat aliran kas masuk.
Tetapi apabila pembelian bahan mentah
maupun penjualan barang jadi dilakukan dengan kredit maka saat masuk ke atau
keluar barang secara fisik tidaklah bersamaan dengan saat aliran kas keluar
atau aliran kas masuk. Dalam hubungan ini financial officer lebih
berkepentingan pada saat terjadinya aliran uang keluar atau aliran uang masuk
daripada saat masuk atau keluarnya barang secara fisik. Dalam pembelian secara
kredit, saat aliran kas keluarnya (cash out-flow) adalah lebih kemudian
daripada saat datangnya barang secara fisik. Estimasi aliran kas keluar yang
terjadi karena pembelian bahan mentah secara kredit dapat disusun dalam skedul
pembayaran utang atau ”schedule of future payments”.
Misalnya suatu perusahaan pada permulaan
tahun mempunyai saldo utang karena pembelian kredit pada bulan Desember tahun
sebelumnya yang harus dibayar dalam bulan Januari sebesar Rp. 5.000.000,-
Pembelian bahan mentah didasarkan pada syarat pembayaran dalam waktu 30 hari
setelah barang diterima. Direncanakan setiap bulannya akan dibeli bahan mentah
dengan kredit sebagai berikut : Januari Rp. 4.000.000, Februari Rp. 6.000.000,
Maret Rp. 8.000.000, April Rp. 7.000.000, Mei Rp. 8.000.000, Juni Rp.
3.000.000,-.
D.
Biaya
inventory, economical order quantity dan reorder piont
1.
Biaya Inventory
Biaya inventory sebagian merupakan biaya variable an sebagian
lainnya merupakan biaya tetap. Biaya inventory yang bersifat variable adalah
biaya yang berubah-ubah karena adanya perubahan jumlah inventory yang ada
didalam gudang. Biaya tersebut akan naik kalau kita mneingkatkan jumlah
persediaan yang disimpan. Adapun jenis biata ini antara lain dalam bentuknya
biaya modal yang ditanamkan dalam persediaan tersebut, biaya asuransi
persediaan, biaya atau upah buruh yang mengurusi penerimaan barang. Adapun
biaya inventory yang bersifat tetap adalah elemen-elemen biaya inventory yang
relative tetap jumlah totalitasnya dalam jangka pendek dengan tidak memandang
adanya variasi yang normal dan jumlah persediaan yang disimpan, misalnya
depreasiasi/penyusutan ruangan yang digunakan biaya pemeliharaan gudang, pajak,
pemanasa, buruh penjaga gudang. Dengan demikian maka biaya inventory
merupakan pencampuran dari biaya variable dan biaya tetap.
Untuk tujuan perencanaan penentuan besarnya
inventory yang akan dipertahankan oleh perusahaan kita hanya memperhatikan yang variabel saja dari biaya-biaya inventory
tersebut yang secara langsung akan terpengaruh oleh rencana tersebut.
2.
Economical
Order Quantity
Economical order quantity (EOQ) adalah
jumlah kuanitas barang yang dapat diperoleh dengan biaya yang minimal, atau
sering dikatakan sebagai jumlah pembelian yang optimal. Dalam menentukan
besarnya jumlah pembelian yang optimal ini kita hanya memperhatikan biaya
variabel dari penyediaan persediaan tersebut, baik biaya variabel yang sifat
perubahannya searah dengan perubahan jumlah persediaan yang dibeli/disimpan
maupun biaya variabel yang sifat perubahannya berlawanan dengan perubahan
jumlah inventory tersebut. Biaya variabel dari inventory pada prinsipnya dapat
digolongkan dalam :
1.
Biaya-biaya yang
berubah-ubah sesuai dengan frekuensi pesanan, yang kini sering dinamakan ”procurrement
cost” atau ”set-up cost”
2.
Biaya-biaya yang
berubah-ubah sesuai dengan besarnya ”average inventory” yang ini sering disebu
”Storage” atau ”carrying cost”.
”Procurement” atau ”Set-up Cost”.
Procurement cost
adalah biaya-biaya yang berubah-ubah sesuai dengan “frekuensi pesanan” yang ini
terdiri dari :
1. Biaya
selama proses persiapan
a.
Persiapan-persiapan
yang diperlukan untuk pesanan
b.
Penentuan besarnya
kuantitas yang akan dipesan
2.
Biaya pengiriman
pesanan
3.
Biaya penerimaan
barang yang dipesan
a.
Pembongkaran dan
pemasukan ke gudang
b.
Pemeriksaan
material yang diterima
c. Mempersiapkan
laporan penerimaan
d. Mencatat
kedalam ”material record cards”.
4. Biaya-biaya
processing pembayaran
a.
Auditing dan
pembandingan antara laporan penerimaan dengan pesanan yang asli
b.
Persiapan pembuatan
chque untuk pembayaran
c.
Pengiriman cheque
dan kemudian auditingnya
”set-up Cost”
akan makin besar apabila ”order quantity” makin kecil.
“Storage” atau “Carrying Cost”
Carrying cost adalah biaya yang berubah-ubah sesuai dengan besarnya
inventory. Penentuan besarnya carrying cost didasarkan pada “average inventory”
dan biaya ini dinyatakan dalam persentase dari nilai dalam upah dari average
inventory. Biaya-biaya yang termasuk dalam carrying cost adalah :
1. Biaya
penggunaan/sewa ruangan gudang
2. Biaya
pemeliharaan material dan allowances untuk kemungkinan rusak
3. Biaya
untuk menghitung/menimbang barang yang dibeli
4. Biaya
asuransi
5. Biaya
absolescence
6. Biaya
modal
7.
Pajak dari
persediaan yanga ada dalam gudang
”carrying cost”
akan makin kecil apabila jumlah material yang dipesan makin kecil.
Cara untuk menentukan besarnya EOQ
Besarnya EOQ dapat ditentukan dengan berbagai cara, dan antara lain yang
banyak digunakan ialah dengan penggunaan rumus sebagai berikut :
2 X R
X S
EOQ =
P
X 1
R = Jumlah (dalam unit) yang dibutuhkan selama satu periode tertentu,
misalnya 1 tahun
S = biaya pesanan setiap kali pesan
P = Harga pembelian per unit yang dibayar
I = Biaya penyimpanan dan pemeliharaan di gudang dinyatakan dalam
persentase dari nilai rata-rata dalam rupiah dari persediaan.
Dalam hal ini kita harus menyadari bahwa
pembelian berdasarkan EOQ hanya dibenarkan kalau syarat-syarat dipenuhi. Adapun
syarat utamanya adalah :
2)
Setiap saat kita
membutuhkan bahan mentah selalu tersedia di pasar dan
3)
Jumlah produksi
yang menggunakan bahan mentah tersebut stabil yang ini berarti kebutuhan bahan
mentah tersebut relatif stabil sepanjang tahun
Kitapun dapat menetapkan EOQ berdasarkan besarnya biaya penyimpanan per
unit, yaitu dengan menggunakan rumus :
2 X R X S
EOQ =
C
Dimana C adalah besarnya biaya penyimpanan per unit.
Contoh :
Jumlah material yang dibutuhkan selama setahun = 1.600 unit
Biaya pesanan sebesar Rp. 100,00 setiap kali pesanan
Biaya penyimpanan per unit = Rp. 0,50
2 X 1.600 X
100
0,50 = 640.000
= 800 unit
3.
Reorder
Point
Untuk melengkapi uraian mengenai ”safety
stock” dan ”economical order quantity” perlulah diuraikan sedikit mengenai
”recorder point” ialah saat atau titik dimana harus diadakan pesanan lagi
sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan material yang dipesan itu
adalah tepat pada waktu dimana persediaan di atas safety stock sama dengan nol.
Dengan demikian diharapkan datangnya material yang dipesan itu tidak akan
melewati waktu sehingga akan melanggar safety stock. Apabila pesanan dilakukan
sesudah melewati ”recorder point” tersebut, maka material yang dipesan akan
diterima setelah perusahaan terpaksa mengambil material dari safety stock.
Dalam penentuan/penetapan ”recorder point” haruslah kita memperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut:
1.
Penggunaan material
selama tenggang waktu mendapatkan barang (procurement leadtime)
2.
besarnya ’safety
stock’
Dimaksudkan dengan pengertian ”procurement
lead time” adalah waktu dimana meliputi saat mulainya pelaksanaan usaha-usaha
yang diperlukan untuk memesan barang sampai barang/material tersebut diterima
dan ditempatkan dalam gudang perusahaan.
Cara menetapkan ”Recorder Point”
Recorder point dapat ditetapkan denan
berbagai cara, antara lain dengan :
a.
Menetapkan jumlah
penggunaan selama ”lead time” dan ditambah dengan persentase tertentu. Misalnya
ditetapkan bahwa safety stock sebesar 50% dari penggunaan selama ”leat time”nya
adalah 5 minggu, sedangkan kebutuhan material setiap minggunya adalah 40 unit.
Recorder point = (5 x 40) +
50% (5 x 40)
= 200 + 100
= 300 unit
b.
Dengan menetapkan
penggunaan selama ”lead time” dan ditambah dengan penggunaan selama periode tertentu
sebagai safety stock, misalkan kebutuhan selama 4 minggu.
Recorder point = (5 x 40) +
50% (4 x 40)
= 200 + 160
= 360 unit
Dari contoh yang terakhir ini dapatlah
dikatakan bahwa ”recorder point” nya adalah pada jumlah 360 unit, yang ini berarti
pesanan harus dilakukan pada waktu jumlah persediaan tinggal 360 menit. Apabila
pesanan, baru dilakukan sesudah persediaan tinggal 300 unit, maka ini berarti
bahwa pada saat barang yang dipesan datang perusahaan terpaksa sudah mengambil
material dari safety stock sebesar 60 unit. Pada waktu barang yang dipesan
datang persediaan dalam gudang tinggal 100 unit (yaitu 300-200), padahal safety
stock telah ditetapkan sebesar 160 unit.
Dengan demikian safety stock di sini sudah
terlanggar. Apabila pesanan dilakukan pada waktu persediaan sebesar 360 unit,
maka pada waktu barang yang dipesan datang persediaan di dalam gudang masih 160
unit (yaitu 360-200) persis sama besarnya dengan besarnya safety stock yang ini
berarti bahwa safety stock tidak terlanggar. Hubungan antara ”recorder point”,
”safety stock” dan ”economical order wuantity” dari contoh tersebut diatas
dapatlah digambarkan sebagai berikut :
Komentar
Posting Komentar